Berjalan Menyusuri Duka: Langkah Pertama Menuju Kesembuhan

#keluargamentari, berbicara mengenai kehilangan memang tidak pernah mudah. Apalagi ketika sosok yang hilang dari hidup memberikan warna di dalam keseharian. Namun demikian, kematian adalah akhir dari masa hidup manusia di dunia. Garisnya telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Bagian kita adalah menerima, memahami, dan menjalani usia hidup yang tersisa sebaik-baiknya.

Masa-masa berduka tentu tidak mudah.

Sebagian orang bisa mengekspresikannya di hadapan umum, sebagian lain memilih untuk menyimpannya dalam relung hati terdalam. Keduanya sah-sah saja. Merasa berduka sebenarnya adalah tanda bahwa kehadiran seseorang adalah hal yang sangat berharga dalam hidup kita. Kesedihan mengajarkan kita kebijaksanaan untuk menerima banyak pertanyaan yang mungkin tidak menemukan jawaban. Rasa duka terkadang bercampur dengan penyesalan karena kita tidak pernah berpikir bahwa kehilangan bisa datang kapan saja. Rasa duka membawa kita kembali pada kenangan akan orang-orang yang kita cintai dan nilai-nilai kehidupan yang diwariskan kepada kita. 

#keluargamentari, ketika menghadapi duka baiknya kita tidak tergesa-gesa.

Terburu-buru ingin terlihat kuat, karena merasakan kehilangan selalu mendatangkan sesak. Memproses duka membutuhkan waktu. Mulai dari menerima ketidakhadiran seseorang dalam rutinitas kehidupan kita, menerima tangis yang muncul saat pikiran kembali memutar ulang detik-detik pengalaman menyenangkan yang dilalui bersama, membiasakan diri untuk kembali pada perubahan peran yang mungkin terjadi. Kemudian di dalam prosesnya kita mulai merasakan ikhlas, dan pada akhirnya mampu menjalani hari-hari secara lebih lepas dan lega.

Berbicara mengenai duka dalam ilmu psikologi tidak bisa lepas dari seorang Psikiater bernama Elisabeth Kübler-Ross. Di dalam hidupnya, ia menunjukkan kepedulian pada proses berduka yang dialami oleh pasiennya, dan memperkenalkan pada “lima tahapan berduka.”

Lima tahapan berduka dihasilkan dari observasi respons emosi yang ditemukan dari seseorang yang mengalami kehilangan. Tentunya proses berduka setiap orang berbeda-beda, oleh karena itu kerangka berpikir ini tidak bersifat linear, melainkan untuk memahami emosi yang dialami oleh seseorang yang menghadapi kematian dari orang yang dicintai. Kerangka berpikir ini bertujuan untuk memahami dan memberikan bantuan kepada diri sendiri maupun orang terdekat yang mungkin mengalami duka.

Berikut ini adalah kelima kondisi emosi yang kerap dialami oleh mereka yang sedang berduka:

Denial

Ketika menghadapi kematian orang yang kita kasihi, sadar ataupun tidak sadar, kita masih sering menyangkal akan kepergian mereka. Kondisi ini pada umumnya terjadi di awal duka. Pada tahapan ini kita merasa kaget, bingung, dan mati rasa. Kita memiliki banyak pertanyaan, seperti:

“Bagaimana caranya untuk melanjutkan kehidupan?”

“Apa yang harus kulakukan?”

“Bagaimana caranya melalui masa-masa ini?”

Sebesar apapun usaha kita untuk tampil seakan baik-baik saja, kita tetap memiliki rasa kosong di dalam diri. Ketika mengalami fase ini, maka sebaiknya kita mengambil waktu sejenak, berbicara dengan orang yang dapat dipercaya untuk mendengarkan keresahan kita, dan beristirahat. Seiring berjalannya waktu, denial akan menghilang dan kita mulai mampu memproses kenyataan secara lebih proporsional.

Anger

Walau masyarakat cenderung tidak menyukai individu yang marah, tetapi emosi marah merupakan emosi yang wajar dialami oleh individu yang berduka. Rasa marah seringkali tidak dapat kita ekspresikan, tetapi terasa di dalam hati kita.

Marah pun banyak ragamnya, marah pada ia yang pergi lebih dahulu, marah pada dokter, marah pada orang-orang yang dinilai tidak berusaha keras untuk menyelamatkan orang yang kita cintai, marah pada diri sendiri, marah pada situasi, atau bahkan marah pada Tuhan.

Namun demikian, rasa marah perlu dirasakan. Hanya dengan berlatih menerima rasa marah dan mengakui keberadaannya di dalam diri, maka emosi marah akan secara perlahan berkurang. Emosi marah dapat dikelola, anda boleh pergi ke psikolog untuk melatih kemampuan mengelola rasa marah Anda. Karena hanya dengan mengelola rasa marah, kita bisa mengakses emosi terselubung, yaitu rasa sakit yang begitu besar atas kehilangan yang tidak tergantikan. Di titik inilah, upaya pemulihan diri mulai bisa dilakukan.

Bargaining

Keinginan untuk “menawar atau mengubah kondisi” muncul sebagai respons ketika kita merasakan sakitnya kehilangan orang yang kita cintai. Di kepala kita banyak sekali pikiran-pikiran yang berbunyi “seandainya saja…” yang diikuti dengan harapan untuk menemukan simtom penyakit lebih cepat, melakukan treatment yang berbedapergi ke dokter yang berbedabahkan pikiran mengenai seandainya kita lebih banyak menunjukkan kasih sayang kepada ia yang telah meninggal.

Keinginan untuk mengubah keadaan seringkali diikuti oleh perasaan menyesal bahwa kita seharusnya melakukan banyak hal secara berbeda. Ketika mengalami kondisi ini, Anda juga bisa berbicara dengan professional, atau melakukan hal-hal kecil yang bisa membantu Anda berpikir lebih jernih, seperti menulis, menggambar, bermain musik, atau mengobrol dengan orang-orang yang Anda pandang lebih stabil dan bijaksana.

Depression

Ketika Anda sudah menerima bahwa pikiran mengandai-andai pada masa lalu tidak mungkin dilakukan terus-menerus, Anda mulai menerima kenyataan bahwa kondisi saat ini tidak dapat diubah. Kita tidak berkuasa atas kematian. Di saat itulah, Anda akan merasaka depresi atau kesedihan mendalam.

Depresi di sini bukan istilah gangguan depresi yang sering Anda dengar, melainkan rasa kosong yang mendalam, kehilangan semangat, menghindari banyak kegiatan, dan kehilangan minat untuk bertemu dengan orang-orang lain. Kemunculan tahap ini bisa dipahami dan perlu diberikan ruang. Ingatlah bahwa Anda baru saja kehilangan seseorang untuk selamanya, dan tidak akan ada orang lain yang dapat menggantikan posisinya di dalam hidup Anda.

Jika Anda berada dalam fase ini, tetaplah menjaga agar diri Anda aktif. Susun jadwal kegiatan harian, dan biasakan diri untuk tetap terhubung dan berkomunikasi dengan orang di sekitar sekalipun rasanya sangat berat untuk melawan keengganan.

Acceptance

Penerimaan seringkali dianggap sebagai sebuah kondisi dimana Anda merasa baik-baik saja. Faktanya, kehilangan orang yang Anda cintai tidak pernah terasa baik untuk diri Anda. Fase penerimaan atas kematian orang yang kita cintai, terletak pada adanya upaya untuk mengenali dan menghidupi kenyataan hidup yang ada saat ini. Bahwa ia yang pergi telah benar-benar pergi, dan kita perlu menjalani hari-hari sambil mengenangnya sebagai salah satu bagian terindah dari perjalanan hidup kita.

Penerimaan tidak berarti tidak lagi ada tangisan setiap kali mengingat kepergian orang yang kita cintai, melainkan tetap berjalan dengan berbagai peran dan tuntutan baru sambil terus mengenang ia yang telah pergi. Penerimaan adalah kesediaan untuk menerima saat ini, dan menerima masa lalu, serta menjalani hari dengan lebih baik.

#Keluargamentari memulihkan diri dari proses berduka membutuhkan waktu.

Sabarlah dengan dirimu sendiri. Ingatlah betapa besar cinta yang diberikan oleh ia yang telah pergi kepada dirimu, dan lanjutkan untuk mengingat dan membagi cinta yang sama dengan orang-orang terdekat yang masih ada saat ini. Jika #keluargamentari membutuhkan bantuan profesional untuk menemani perjalanan menyusuri rasa duka, maka jangan ragu untuk melakukan konsultasi.

Semoga kehilangan yang begitu besar saat ini dapat menyadarkan kita betapa berharganya orang-orang terdekat yang masih ada saat ini.

Ditulis oleh: Anggita H. Panjaitan, M.Psi., Psikolog

Referensi:

Kübler-Ross, E., & Kessler, D. (2009). The five stages of grief. In Library of Congress Catalogin in Publication Data (Ed.), On grief and grieving (pp. 7-30).

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *