Empati adalah kemampuan untuk menempatkan diri sendiri dalam keadaan psikologis orang lain dan untuk melihat suatu situasi dari sudut pandang orang lain. Ketika anak dapat berempati berarti anak memahami bahwa ia adalah individu yang berbeda dari individu lainnya dan menyadari bahwa orang lain mungkin memiliki perasaan dan sudut pandang yang berbeda dengannya.
Empati dibentuk sepanjang masa kanak-kanak dan remaja dan dibentuk oleh berbagai faktor termasuk genetika, temperamen, konteks, dan lingkungan. Namun, empati tidak secara otomatis terungkap pada anak-anak. Meskipun kita terlahir dengan kemampuan untuk empati, perkembangannya membutuhkan pengalaman dan praktik. Berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan #keluargamentari untuk menanamkan empati pada anak sejak dini:
- Orang tua menjadi role model untuk anak.
Melihat apa yang orang tua lakukan untuk anak dan orang lain akan membentuk perilaku anak, karena anak cenderung menirunya. Ketika orang tua memiliki interaksi sosial yang baik dan dapat berempati dengan orang lain, anak akan belajar dari apa yang orang tua contohkan.
- Pujilah saat anak bersikap baik secara spontan.
Anak-anak terkadang secara spontan melakukan hal-hal baik untuk orang lain. Pujian orang tua dapat memperkuat perilaku yang anak lakukan.
- Ajarkan anak untuk memperhatikan dan memahami emosi yang mereka rasakan.
Ketika anak merasa tidak nyaman, mereka tidak secara otomatis menautkannya dengan emosi tertentu. Mereka fokus pada perilaku yang berasal dari perasaan tidak nyaman atau ketegangan yang mereka miliki ini. Orang tua dapat membantu anak mengucapkannya secara lisan.Orang tua juga dapat membantu anak-anak memahami konteks atau situasi di mana mereka merasakan hal tertentu dapat membantu mereka terhubung dengan orang lain yang kebetulan berada pada posisi yang sama.
- Ajarkan kemampuan mendengarkan pada anak.
Pertama, bersiaplah menjadi contoh untuk anak dengan mendengarkan anak dengan sungguh-sungguh ketika mereka berbicara. Ketika orang tua tidak yakin dengan apa yang anak katakan, tanyakan kepada anak apa maksud dari perkataannya. Buat aturan keluarga untuk saling mendengarkan. Kedua, bicarakan tentang kemampuan mendengarkan. Misalnya, ketika mendengarkan harus melihat orang yang berbicara dan benar-benar mendengarkan apa yang orang lain katakan.
- Bicarakan tentang berbagai perspektif.
Memahami perspektif orang lain membutuhkan kemampuan kognitif untuk keluar dari pemikiran kita sendiri dan melihat situasi secara berbeda. Orang tua dapat membantu anak mulai memahami gagasan ini dengan mengambil satu situasi dan tunjukkan pada anak bagaimana hal tersebut bisa berbeda bagi orang lain. Misalnya, bagaimana rasanya ketika punya banyak mainan dan bagaimana ketika tidak punya sama sekali. Kemudian bantu anak menghubungkan situasinya dengan pengalaman pribadi mereka. “Bagaimana perasaanmu jika kita tidak mampu membeli mainan yang kamu miliki ini?”
- Bacakan cerita dan bicarakan tentang pengalaman dari karakternya.
Buku dapat membantu anak mengalami emosi dan pengalaman yang belum pernah terpikirkan olehnya. Di saat yang sama, karakter yang ada di buku mungkin juga mengalami situasi yang sama dengan anak, dan dapat menawarkan ide-ide untuk mengatasinya. Beberapa hal yang dapat didiskusikan dengan anak ketika membaca buku bersama, yaitu bagaimana perasaan karakter terhadap situasi tertentu, apa tantangan terbesar yang karakter hadapi, apa yang akan dilakukan ketika berada di situasi tersebut, dan sebagainya. Pertanyaan-pertanyaan harus membuat anak untuk menempatkan diri pada posisi karakter.
- Gunakan metode pretend play.
Bicaralah pada anak tentang perasaan dan empati saat bermain. Misalnya, orang tua dapat membuat boneka kuda nil mengatakan bahwa ia tidak mau bergantian dengan temannya. Kemudian tanyakan pada anak: “bagaimana perasaan temannya?” “apa yang harus kita katakan pada kuda nil?”
Pertanyaan “bagaimana jika” dapat membimbing anak untuk mulai memikirkan cara untuk bersikap empati pada situasi yang belum pernah mereka alami. Situasi bisa tampak lebih nyata jika orang tua bermain peranatau menggunakan mainan untuk pretend play.
(Terapis Perilaku: Irsalina Arizka S.,S.Psi)