Dampak Buruk Menerapkan Hukuman Fisik bagi Anak

Sebagai Psikolog Anak yang juga seorang ibu, tidak dipungkiri memang ada saat-saat dimana kesabaran rasanya ada di ujung tanduk. Saat praktek pun salah satu pertanyaan yang sering saya temui adalah 

“Emang ga boleh ya menghukum anak?”

“Kalau ga dihukum kan jadi ga belajar?”

Pertanyaan balik saya adalah “Apakah yakin kalau diberikan hukuman fisik, anak jadi “belajar’ dari perilakunya?”

Hukuman (punishment) sebetulnya merupakan salah satu metode untuk membentuk tingkah laku. Tapi, hukuman seperti  apa yang dapat membentuk tingkah laku anak? Apakah hukuman fisik ? Saya setuju bahwa anak butuh belajar dan setiap tindakan memiliki konsekuensi. Perilaku positif = konsekuensi positif, dan sebaliknya. Saya lebih suka menyebutkan kata “konsekuensi” daripada “hukuman”. Karena menurut saya konsekuensi tidak sama degan hukuman. 

Misalnya anak menumpahkan makanan, contoh konsekuensi: membereskan makanan yang berantakan sedangkan contoh hukuman:  dimarahi. Contoh lain anak melompat-lompat  di kasur hingga seprai menjadi  kotor, contoh konsekuensi: ajak anak untuk membersihkan kasur sedangkan contoh hukuman: sabet pake sapu lidi.

Jika diperhatikan, konsekuensi membuat anak belajar, sedangkan hukuman tidak membantu anak belajar. Apalagi hukuman fisik. Kenapa tidak membuat anak belajar, ya karena tidak ada hubungannya dan tidak menyelesaikan masalah. Saat diberikan hukuman fisik, anak mungkin mengubah perilakunya, tapi hanya karena takut, bukan karena “belajar”. Karena tidak ada proses ‘belajar’ dari hukuman fisik, maka perilaku yang tidak diharapkan dari anak akan sangat mungkin muncul lagi besok-besoknya.

Salah satu dampak dari hukuman fisik adalah anak dapat mengimitasi atau mengikuti perilaku yang ditampilkan oleh orangtua. Kalau kita melarang anak untuk memukul temannya, tapi kita terbiasa untuk memukul anak, kira-kira apa yang akan dipahami oleh anak?

Riset menunjukkan bahwa anak-anak  yang terpapar dengan kekerasan, cenderung untuk memunculkan perilaku agresif di kemudian hari.

Dampak lainnya yang saya perhatikan dari kasus-kasus  yang saya temui adalah hukuman fisik semakin lama cenderung semakin intens. Kalau hari ini anak dipukul, besok mungkin tidak akan mempan dipukul, jadi disabet. Besoknya ga mempan lagi, kemudian kapan akan berhenti? Saat kita melakukan hukuman fisik, di titik manakah kita akan merasa “cukup”? Apa yang sudah terjadi pada anak kita pada saat itu?

Penelitian juga menunjukkan bahwa anak yang mengalami kekerasan sangat rentan mengalami masalah emosional di kemudian hari. Saat saya praktek, ada orang tua yang bertanya  “Kalau saya pukul anak saya sekarang, dia akan ingat sampai kapan?”. Saya jawab bahwa saya tidak tahu. Yang saya tahu adalah setiap kejadian yang dialami oleh manusia akan masuk ke dalam memori kemudian dimaknai oleh otak.

Kejadian-kejadian yang melibatkan pengalaman emosional cenderung bertahan lebih lama dalam memori dan dapat mempengaruhi banyak aspek dari seseorang. Merah bekas dicubit mungkin hilang dalam beberapa hari, tapi apa yg ia pikirkan, rasakan, sampai  kapan kejadian itu dibawa dalam dirinya? Siapa yg tahu? Salah satu penelitian menyebutkan bahwa anak yang sering dipukul, memiliki resiko dua kali lebih besar untuk mengalami masalah kesehatan mental nantinya.  

Jadi bagaimana? Bagaimana supaya kita tidak terjebak dalam pola.

Kenali anak.

Dengan begitu kita akan lebih mudah mengetahui apa sebetulnya yang ia rasakan atau inginkan sehingga problem solving kita tepat. 

Kenali diri sendiri.

Pahami hal-hal apa yang dapat menganggu kondisi emosional kita dan hal-hal apa yang dapat membuat kita menjadi tenang. Saat ada situasi yang rasanya akan memancing emosi, balik badan (ke arah yang berlawanan dari anak). Tarik napas panjang setidaknya tiga kali, saat mulai tenang baru datangi anak. Atau remas tangan sendiri sekencang-kencangnya. Pressure atau tekanan adalah hal yang paling mudah membuat kita merasa lebih tenang.

Ingat bahwa anak dapat merasakan apa yang kita rasakan. Anak juga selalu belajar dari apa yang kita tampilkan.

Belajar meregulasi emosi diri sendiri sebelum melatih regulasi emosi anak.

Pikirkan konsekuensi yang tepat, yang dapat memfasilitasi anak untuk belajar. Bukan memberikan hukuman yang tidak ada kaitannya dengan pembelajaran. Parenting bukan hal yang mudah. Tapi tidak ada alasan apapun di dunia ini yang dapat membenarkan kekerasan pada anak. Jadi mulai dari diri sendiri dulu. Evaluasi diri sendiri, pastikan kalau kita tidak memberikan hukuman fisik pada anak.

Ditulis oleh: Firesta Farizal, M.Psi., Psikolog (Psikolog Anak)

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *