Bukan Hanya Ibu, Ayah Juga Beradaptasi dengan Peran Barunya

Halo #keluargamentari, ketika kita berbicara mengenai kelahiran buah hati, kita seringkali berfokus pada dinamika psikologis para ibu. Namun demikian, berdasarkan penelitian para ayah juga mengalami berbagai dinamika psikologis di dalam diri mereka. Yuk kita belajar memahami, agar Ayah dan Ibu dapat saling menguatkan dalam menyambut kehadiran buah hati di tengah keluarga!

Tahukah #keluargamentari ternyata para calon ayah biasanya memiliki rasa takut dan khawatir dalam menanti kelahiran buah hatinya loh..

Hal ini terutama dialami oleh para calon ayah yang menantikan kelahiran anak pertama mereka. Rasa takut dan khawatir muncul karena ketidaktahuan mereka atas hal-hal yang mungkin terjadi. Juga peran apa yang diharapkan dari mereka selama proses kehamilan dan melahirkan. Di samping itu, mereka juga rentan merasa ragu mengenai kemampuan mereka dalam membantu para ibu di moment persalinan.

Mereka merasa tidak benar-benar tahu apa yang harus dilakukan, sehingga kerap mengalami kebingungan dalam bertindak. Apalagi di sisi lain muncul pula rasa khawatir mengenai kondisi kesehatan para ibu dan anak, baik selama proses kehamilan, hingga ketika proses melahirkan. Semua ini membuat mereka rentan merasa tertekan, bahkan frustrasi dalam menanti lahirnya buah hati.

Di sisi lain, berdasarkan penelitian diketahui bahwa pengalaman menghadapi kelahiran anak membawa pemaknaan yang positif bagi ayah.

Mereka merasa lebih maskulin, dan merasa bahwa diri mereka adalah “laki-laki yang sesungguhnya”. Namun demikian perasaan tersebut ternyata tidak menetap begitu lama di dalam diri mereka. Setelah kelahiran anak, muncul kesadaran di dalam diri ayah untuk mengubah gaya hidup ataupun kebiasaan hidup. Hal ini karena mereka menyadari bahwa ia memiliki satu orang lagi yang harus dipikirkan kesejahteraannya.

Kesadaran mengenai peran sebagai pencari nafkah, membuat mereka lebih totalitas dalam menjalani pekerjaan dan terdorong untuk menabung lebih banyak demi menghidupi keluarga. Sayangnya, dorongan untuk lebih optimal mencari nafkah kerap membuat para ayah merasa kewalahan dalam keseharian. Di satu sisi mereka sangat ingin terus membangun hubungan (bonding) dengan anak. Tetapi di sisi lain mereka kerap merasa bahwa kebutuhan finansial menuntut mereka untuk menghabiskan lebih banyak porsi waktu dan fokus mereka untuk bekerja. Wajar saja kalau para ayah merasa serba salah dalam menyikapi situasi ini.

Pada dasarnya para ayah baru memiliki keinginan untuk menjadi ayah yang lebih baik dibandingkan sosok ayah yang mereka kenal, terutama dalam keterlibatan dalam mengasuh anak.

Namun demikian, terdapat kekhawatiran bahwa mereka tidak mampu menjalani peran mereka dengan benar, sehingga tidak cukup percaya diri dalam membuat keputusan terkait aktivitas anak. Berdasarkan pengalaman praktek para psikolog, ditemukan bahwa faktor kritik dan teguran yang diberikan para ibu kepada ayah ketika mereka mengasuh anak turut membuat mereka merasa semakin tidak kompeten. Pada akhirnya membuat mereka membatasi peran dalam mengasuh anak dan menyerahkan peran tersebut sepenuhnya kepada ibu.

Dalam periode breastfeeding, ayah juga kerap merasa tidak dilibatkan, dan tidak mampu memberikan bantuan yang signifikan bagi untuk meringankan beban para ibu. Kebanyakan para ayah mengira menyusui adalah hal yang sederhana, sehingga seringkali mereka kurang antisipatif dalam menyikapi kendala yang mungkin muncul di dalam prosesnya. Ketika di kemudian hari pasangan mengalami situasi yang menyulitkan untuk menyusui, ketidaksiapan para ayah membuat mereka merasa tidak berguna. Padahal di sisi lain, mereka memiliki keinginan untuk terlibat, baik dalam menerima informasi terkait cara pemberian ASI, maupun dalam mengatasi masalah yang mungkin muncul di masa menyusui.

Dalam proses adaptasi dengan peran baru sebagai orang tua, para ayah juga menghadapi penurunan kualitas hubungan dengan pasangan.

Hal ini terjadi karena baik ayah maupun ibu memfokuskan diri pada upaya mengasuh anak. Hal ini mengakibatkan mereka mengalami kelelahan fisik dan psikologis yang berujung pada ketiadaan energi maupun waktu untuk membangun komunikasi yang intim satu sama lain dengan pasangan.

Di samping itu, faktor kelelahan juga berpotensi mempengaruhi frekuensi hubungan seksual pasangan, membuat ayah dan ibu kekurangan waktu untuk saling terkoneksi, sehingga kerap menghadapi kesalahpahaman dalam berkomunikasi dan rentan menghadapi pertengkaran dalam keseharian.

Sama seperti para ibu dengan peran baru yang menyita fokus mereka, para ayah yang menjalani peran sebagai orang tua baru juga kerap merasa kegiatannya dibatasi oleh berbagai tuntutan, serta mengalami kelelahan hampir setiap waktu terutama di bulan-bulan awal kelahiran anak mereka. Apalagi kondisi lingkungan di tempat kerja kerap kurang mendukung para ayah untuk berbagi mengenai kelelahan fisik maupun emosi mereka. Hal ini membuat mereka rentan mengalami stres, sehingga seringkali melakukan kegiatan-kegiatan lain untuk mengalihkan ketegangan mereka. Misalnya dengan merokok, melibatkan diri secara lebih dalam dengan pekerjaan mereka, dll.

Nah #keluargamentari, kita belajar bahwa momen perubahan menjadi orang tua baru tidak mudah bagi para ibu dan para ayah.

Namun, kita dapat menyadari bahwa ayah dan ibu berupaya untuk menjalani perannya dengan baik sejalan dengan pemahaman mereka mengenai peran orang tua. Dengan memahami dinamika psikologis ibu selama menyusui dan dinamika psikologis ayah, kita bisa menyiapkan diri dan pasangan untuk menyambut kehadiran buah hati secara lebih bijak. Di samping itu, artikel ini bertujuan untuk mendorong para ayah dan ibu untuk bahu membahu saling menguatkan, memahami, menjaga komunikasi yang sehat, dan berempati atas kondisi-kondisi tidak nyaman yang akan dihadapi bersama.

Ingatlah bahwa ketika buah hati lahir di dunia, Anda berdua juga terlahir menjadi orang tua baru. Dalam beragam pengalaman yang baru ini, sesungguhnya Anda berdua tidak pernah berjalan sendirian. Anda berdua adalah satu tim yang mengarungi perjalanan baru sebagai sepasang orang tua. Maka, berbaik hatilah kepada satu sama lain 🙂

Ditulis oleh: Anggita Hotna Panjaitan, M.Psi., Psikolog

Leave A Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *