#keluargamentari, seringkali kita menemukan pembahasan mengenai trauma pada anak. Secara singkat trauma dapat dipandang sebagai kondisi dimana individu menghadapi situasi yang terlalu besar ataupun terlalu intens, untuk dapat diproses oleh individu. Beberapa hal yang mungkin menyebabkan kondisi trauma di antaranya bencana alam, kekerasan di dalam lingkungan, pengabaian emosi dari orang sekitar, atau bahkan perkataan-perkataan menghina, atau mengancam, yang secara konsisten diterima secara konsisten.
Kapasitas seorang anak untuk menghadapi situasi traumatis tentu berbeda dari orang dewasa. Bagi orang dewasa, terkunci di dalam sebuah ruangan di kamarnya sendiri belum tentu menjadi peristiwa yang membekas. Namun demikian, bagi seorang anak berusia empat tahun, kejadian terkunci di dalam kamar mungkin suatu hal yang sangat menakutkan dan intens, membuat mereka merasa takut, frustrasi, bahkan mungkin merasa tidak berdaya. Dengan demikian, sebuah kejadian bisa saja traumatis bagi satu orang tetapi dianggap biasa saja bagi orang yang lain. Trauma bersifat subjektif, bergantung kepada seberapa siap individu menyikapi peristiwa yang terjadi padanya tersebut.
Seorang anak akan mengalami trauma ketika ia menghadapi sebuah kejadian yang dimaknai berbahaya, menakutkan, mengancam keselamatan dirinya. Hal ini dapat berdampak buruk pada kondisi psikologis, emosional, dan bahkan fisik seorang anak. Kejadian trauma yang dialami anak dapat berasal dari satu buah peristiwa yang besar, maupun kejadian yang terjadi secara terus-menerus sepanjang masa pertumbuhan mereka, contohnya menerima perilaku diskriminatif, diancam, diabaikan, dihina, maupun dikucilkan.
Selain itu, trauma pada anak dapat berdampak pada kesejahteraan fisik, psikologis, maupun sosial dan emosional mereka. Trauma pada anak yang tidak ditangani dan dikelola sejak awal, dapat terbawa ke masa dewasa mereka, dan berpotensi mengganggu kondisi kesehatan mental mereka sebagai seorang individu dewasa kelak. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengenali gejala-gejala yang umumnya muncul pada anak yang menghadapi situasi traumatis, sehingga sebagai seorang individu dewasa, kita dapat membawa mereka untuk diperiksa lebih lanjut oleh pihak professional Kesehatan mental.
Mengenali Tanda-Tanda Trauma pada Anak: Emosional, Perilaku, dan Fisik
- Tanda emosional: seorang anak yang mengalami trauma cenderung kesulitan untuk mengenali dan memahami apa yang ia rasakan, sehingga kerap menunjukkan beberapa ciri di bawah ini:
- Menampilkan rasa takut yang sangat intens, hingga berpotensi menjadi irasional
- Menampilkan rasa sedih yang mendalam
- Mudah ketakutan di banyak situasi
- Lebih banyak frekuensi menangis dan berteriak
- Tanda perilaku: Anda mungkin mengenali beberapa perubahan perilaku yang signifikan ditunjukkan di dalam diri anak Anda, beberapa di antaranya:
- Rentan frustrasi
- Menampilkan perilaku menarik diri, menutup diri
- Kesulitan untuk fokus, dan menjaga atensi
- Kesulitan untuk tidur
- Rentan menangis
- Perubahan pada kegiatan makan
- Meningkat atau menurunnya berat badan secara intens dan drastic
- Tanda fisik: Ketika seorang anak mengalami kondisi traumatis, tubuh mereka juga rentan mengalami keluhan-keluhan yang mungkin sebelumnya jarang di alami, di antaranya:
- Secara tiba-tiba menjadi terlalu sensitive pada suara, cahaya, bau, ataupun sentuhan
- Kesulitan mengenali sensasi takut pada tubuh
- Gejala fisik yang tidak ditemukan masalahnya pada saat pemeriksaan fisik, seperti keluhan pada perut, rasa sakit kepala, dll.
Oleh karena itu, jika Anda menemukan gejala di atas secara tiba-tiba muncul secara intens di dalam diri anak Anda, saya sangat merekomendasikan untuk melakukan pemeriksaan atas kondisi kepada tenaga professional kesehatan mental.
Ditulis oleh: Anggita H. Panjaitan, M.Psi., Psikolog